Minggu, 04 April 2010

Jejak Pelarian Hindu di Kaki Gunung Lawu


VIVAnews - Bangunan rumah khas Hindu -- seperti keberadaan gerbang rumah dengan hiasan batu candi menjadi pemandangan umum dari rumah-rumah yang ada di puncak kaki Gunung Lawu di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah.

Tak hanya itu, ketika mendekati puncak dari salah satu pura agung, Candi Cetho, bau dupa yang biasa digunakan untuk sembahyang terasa menyengat.

Masyarakat di Kaki Gunung Lawu tepatnya di Kecamatan Ngargoyoso, sebagian besar memang memeluk agama Hindu. Bahkan bisa dikatakan 99 persen masyarakatnya beragama Hindu.

“Memang di sini adalah kampung Hindu. Bahkan bisa dikatakan 99 persen penduduknya adalah beragama Hindu. Ada puluhan KK atau ratusan masyarakat yang beragama Hindu, “ tutur Sugeng Karyanta, salah satu pemeluk agama Hindu di Desa Cetho kepada VIVAnews.

Karena sebagian besar adalah beragama Hindu, keberadaan masjid di daerah sini sangat jarang ditemui. Yang sangat gampang ditemui tentu saja adalah pura, tempat beribdah agama Hindu.” Di kecamatan sini ada sekitar 15 pura,“ kata Sugeng.

Keberadaan perkampungan Hindu tersebut ternyata memiliki sejarah tersendiri. Keberadaannya sudah ada sejak akhir abad 14. Hal ini terkait dengan sejarah pelarian raja Majapahit, Brawijaya V atau Bhre Kertabumi.

“Cerita awalnya adalah Brawijaya V lari ketika dikejar-kejar oleh putranya, yaitu Raden Patah yang waktu itu ingin meng-Islamkan bapaknya. Tetapi Brawijaya lari ke daerah terpencil dan sulit untuk dikejar yaitu di kaki Lawu yang memiliki ketinggian 1500 meter di atas permukaan laut, “ tambah Sugeng.

Brawijaya V, lanjut Sugeng, kemudian membangun pura-pura untuk beribadah. Salah satunya adalah pura agung ini, Candi Cetho. “Candi Cetho diyakini menjadi salah satu pura agung. Candi dengan konsep bangunan berundak ini sering menjadi tempat sembahyang untuk umat Hindu sekitar, “ ceritanya.

Jadi perkampungan Hindu ini sudah berlangsung sekitar 7 abad. Karena secara turun temurun mereka tetap tinggal di sana dengan melestarikan budaya dan agama Hindu. “Ketika hari besar agama Hindu, kami secara bersama-sama merayakannya. Untuk hari Nyepi kami memulai prosesinya pada Minggu 14 Maret 2010 hingga 16 Maret 2010, “ katanya.

Jika dibandingkan dengan Hindu Bali, maka Hindu di Kaki Lawu sedikit berbeda.

“Karena kami tinggal di tanah Jawa, maka percampuran budaya Jawa dengan Hindu tak bisa dihindari. Hal inilah yang membedakannya dengan Hindu Bali. Salah satunya terlihat dalam sesaji yang biasa digunakan. Kami mengikis beberapa sesaji Jawa dan Banten, guna menyusaikan dengan budaya Jawa, “ ceritanya.

0 komentar: