Jika bumi Indonesia dapat berbicara bisa jadi kata yang terlontar,"Berhenti eksploitasi kami".
Sejak berabad-abad silam alam Nusantara sudah dituntut bekerja keras menghasilkan berton-ton palawija, hasil hutan, hasil perkebunan, hasil laut, namun tidak dinikmati oleh bangsa sendiri.
Kondisi ini tetap berlangsung, bedanya jika berabad-abad silam sumberdaya alam (SDA) berpindah ke dataran Eropa karena desakan penjajah, namun kini lebih karena alasan peningkatan devisa negara.
Ekspor bahan mentah menjadi sorotan dan disayangkan berbagai pihak. Di saat anak negeri mulai bangkit dan memiliki kemampuan mengolah, dukungan bahan mentah tak tersedia.
Energi menjadi salah satu polemik yang muncul di negeri yang katanya ingin maju ini. Ketersediaan energi untuk peningkatan daya saing bangsa terkadang menjadi kelakar di warung-warung kopi negeri ini.
Dalam sebuah pertemuan media massa dengan pejabat dari Kementerian Energi Sumberdaya Mineral, Kementerian Kehutanan, dan asosiasi batubara di Jakarta, seorang wartawan asal Kalimantan Timur secara tajam menyoroti nasib daerahnya.
Tanah Kalimantan yang kaya oleh emas hitam tetapi tidak bisa benderang di malam hari. Batubara lebih banyak yang diekspor ketimbang untuk "menghidupi" sebuah pembangkit listrik.
Kini masyarakat Kalimantan Timur sibuk menghadapi banjir sebagai dampak dari eksploitasi hutan yang beralih menjadi tambang-tambang batubara legal maupun ilegal.
Masih terkait dengan energi. Baru-baru ini pertemuan beberapa asosiasi dan Dirut PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk bertemu dan bersepakat di Kementerian Perindustrian.
Pertemuan ini buntut dari keberatan industri terhadap rencana kenaikan harga gas mulai 1 April 2010, yang ternyata hanya untuk wilayah Jawa Barat.
Menurut penjelasan Direktur PT PGN Tbk, Hendri Prio Santoso menjelaskan bahwa pasokan gas perusahaannya terganggu. Di lain pihak harga pasokan gas dari Pertamina dan Medco mengalami kenaikan, alhasil harga jual gas ke industri ikut naik sebesar 15 persen.
Ekspansi maupun relokasi pabrik pun akan tertahan karena pasok gas sementara hanya diprioritaskan bagi pelanggan lama. Padahal pemerintah menargetkan peningkatan investasi 15 persen dibanding 2009 yang mencapai Rp135 triliun untuk membangun infrastruktur.
Dengan sedikit bernada kesal Menteri Perindustrian MS Hidayat menyesalkan kenaikan harga-harga energi di tanah air.
"Saya diminta Presiden untuk meningkatkan daya saing industri, tapi kalau kebijakan energinya seperti ini sudah juga membuat industri bisa menyumbang target pertumbuhan ekonomi 5,5 hingga enam persen," ujarnya.
Pada kesempatan terpisah, ia berjanji memperjuangkan pasok energi yang stabil untuk industri dalam kebijakan energi jangka menengah dan panjang. Artinya, kebijakan mengekspor migas dan mineral secara besar-besaran akan juga dipertimbangkan lagi.
Di sektor perkebunan, ekspor besar-besaran minyak sawit mentah (CPO) atas permintaan energi ramah lingkungan di Eropa terus meningkat. Isu lingkungan yang sering menghantam bisnis ini tak membuat permintaan langsung berhenti.
Masalah yang akhirnya dihadapi di dalam negeri tidak lain mahalnya harga minyak goreng dan tidak berkembangnya energi alternatif.
Kebutuhan energi dunia terus meningkat, bukan saja Indonesia, China dan India pun terus giat menambah pasok listriknya guna memenuhi kebutuhan industri dan rumah tangga yang terus berkembang.
Hal serupa dilakukan Indonesia yang pada dasarnya sudah kekurangan listrik. Demi memberi pasokan listrik untuk rakyat pemerintah giat membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga 20.000 Mega Watt (MW), berbahan bakar batubara dan dikerjakan dalam dua tahap.
Ironisnya, seiring percepatan pembangunan pembangkit-pembangkit listrik berbahan baku batubara tersebut semakin cepat pula ekspor batubara dilakukan.
Entah ini terpikirkan atau tidak oleh pemerintah, namun baru-baru ini perusahaan mutinasional asal India, Grup Essar, membeli tambang batubara Aries di Kutai, Kalimantan Timur, dengan ketersediaan 100 juta ton dengan cadangan mencapai 64 juta ton.
Direktur Essar Group, Anshuman Ruia, dalam siaran persnya menyatakan mineral yang dihasilkan tersebut untuk memenuhi integritas antarperusahaan Essar dan mengamankan kebutuhan bahan baku operasi Essar Power.
Posisi tawar Indonesia
Apa yang akan terjadi jika semua ekspor SDA Indonesia dihentikan. Apakah Indonesia akan bangkrut karena tidak memiliki cukup devisa untuk membiayai APBN, atau sebaliknya devisa menjadi berlimpah dan rakyat sejahtera?
Sebut saja CPO, batubara, gas, rotan, kayu, ikan yang mewakili sedikit dari SDA yang selama ini di ekspor guna memenuhi kebutuhan berbagai negara di dunia.
Keberanian Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengeluarkan pernyataan terkait rencana penutupan ekspor rumput laut gelondongan di 2012 paling tidak perlu diapresiasi. Walau akhirnya yang menjadi tanda tanya mampukah Indonesia mengolah rumput laut sebesar satu juta ton di 2010 ini di saat jumlah industri pengolahannya hanya bekerja 60 persen saja.
Direktur Usaha dan Investasi Ditjen Pemasaran dan Pengolahan Hasil Perikanan (P2HP) KKP, Victor Nikijuluw mengatakan pernyataan KKP tersebut telah menyita perhatian dunia.
Bagaimana tidak, jika ternyata 50 persen pasok rumput laut gelondongan dunia berasal dari Indonesia.
Pengusaha pengolahan rumput laut di Filipina pun yang memiliki tiga pabrik berkapasitas masing-masing mencapai 10.500 ton per bulan berpikir untuk merelokasi pabriknya ke Indonesia.
"Dapat dibayangkan kalau pabrik di Filipina ini tutup, ribuan tenaga kerja Indonesia menganggur karena mayoritas orang Indonesia. Dampak lain bintang-bintang Bollywood tidak lagi berwajah mulus karena bahan baku kosmetiknya sudah tidak diproduksi," kata Victor.
Adalah Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali yang bersuara lantang agar Indonesia tidak lagi mengandalkan SDA.
Bagaimana pun, ia mengatakan, SDA yang dimiliki Indonesia akan habis. Karena itu bukan lah keputusan yang bijaksana jika hingga saat ini SDA masih menjadi andalan untuk memperoleh devisa.
Terkait dengan berulang kali pasokan energi terganggu untuk industri maupun rumah tangga, Rhenald justru menanggapinya secara global. Bahwa sudah saatnya Indonesia serius beralih ke energi alternatif.
"Pemerintah hanya sibuk meramaikan penggunaan energi alternatif ketika harga minyak mentah dunia melambung tinggi. Seharusnya komitmen mengembangkan energi alternatif terus dipegang," ujar dia.
Pemerintah, lanjutnya, harus serius membuat pemetaan kebutuhan energi. Silahkan jika sementara waktu industri dipasangkan dengan energi konvensional, namun untuk industri maupun usaha kecil solusi energi dapat dipecahkan dengan menciptakan sumber energi alternatif skala kecil.
Dalam sebuah klaster usaha kecil dan menengah tidak salah jika dikembangkan pula energi alternatif skala kecil yang mampu mencukupi kebutuhan listrik. Sementara di rumah-rumah penduduk pun harus mulai digalakkan penggunaan energi alternatif sederhana seperti biomas yang berasal dari kotoran hewan maupun sampah.
Rhenald memang tidak ingin terlalu meramaikan masalah kurangnya pasokan energi di industri. Ia lebih memilih memecahkan masalah energi tersebut dengan konsistensi pengembangan energi alternatif.
Namun, Rhenald jelas menolak jika SDA terus-menerus tereksploitasi. Ia lebih setuju jika manusia Indonesia dengan segala kreativitasnya menciptakan produk-produk bernilai tambah, maupun jasa yang mampu menyumbang devisa sekaligus mengentaskan kemiskinan dengan penambahan lapangan kerja.
Mengutip pernyataan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral, Batubara dan Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Mangantar S Marpaung, dalam diskusi terkait Undang-undang baru Minerba dengan kalangan media massa di Jakarta, bahwa batubara tidak akan lari kemana-mana jika tidak dieksploitasi.
Artinya tidak pula ada kerugian jika SDA ini tetap berada di tempatnya, di bawah hutan lindung atau pun hutan konservasi sampai kapan pun juga. Sebagai gantinya, Rhenald Kasali mengajak agar manusia Indonesia menjadi lebih kreatif dengan menciptakan nilai tambah dan menjual jasa.
0 komentar:
Posting Komentar